Pandemi kian hari kian terkendali. Penyebaran virus Covid-19 menunjukkan penurunan yang signifikan. Optimisme pun menhinggapi seluruh lapisan masyarakat. Termasuk dunia pendidikan yang selama pandemi terdampak secara signifikan kini mulai menggeliat. Kegiatan tatap muka mulai digelar secara terbatas. Situasi ini tentu disambut positif oleh masyarakat, walau tidak sedikit yang masih merasa khawatir.
Dilain pihak, pemerintah melalui Kemendikbud Ristek merespon perkembangan yang terjadi dengan menggulirkan Kurikulum Prototype sebagai alternatif untuk mengatasi learning loss selama masa pandemi. Sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai Sekolah Penggerak sudah mulai mengimplementasikan kurikulum ini. Kurikulum yang dilandasi filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Diamana pembelajaran seluruhnya berpusat pada siswa. Pembelajaran terdiferensiasi berdasarkan capaian pembelajaran (learning at the right level) menjadi salahsatu ciri khas dari kurikulum ini.
Hal tersebut tentu berimplikasi pada model dan strategi pembelajaran serta asesmen.
Selama masa pandemi, lembaga-lembaga pendidikan (baca : sekolah) seolah berlomba-lomba mencari metode yang efektif dan efisien dalam pembelajaran jarak jauh sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Pada perkembangannya berbagai platform LMS diyakini sebagai wahana yang tepat dalam mengelola dan memandu aktifitas pembelajaran murid.
Namun demikian LMS bukannya tanpa kekurangan. Jika dikaitkan dengan pembelajaran terdiferensiasi yang “menghamba” pada murid sebagaimana dikehendaki kurikulum prototype. LMS memiliki keterbatasan. Karakteristik LMS lebih berorientasi pada ketuntasan aktifitas pembelajaran yang dirancang berdasarkan alur-alur tertentu oleh guru. Sehingga murid tidak mendapat kesempatan untuk mempelajari hal lain sesuai minat dan kodratnya.
Pembelajaran tatap muka terbatas memberikan harapan sekaligus tantangan bagi guru dalam aktifitas belajar mengajar. Metode blanded learning menjadi sebuah keniscayaan. Tuntuan pelaksanaan pembelajaran yang menghamba pada murid dihadapkan pada terbatasnya pertemuan tatap muka dengan murid. Sementara LMS kurang compatible dengan differentiated learning. Perkembangan teknologi pendidikan telah sampailah pada babak baru blanded learning. Adalah LXP, wahana baru pembelajaran yang akan mengajak murid belajar dengan pengalaman yang menarik.
LXP atau Learning Experience Platform adalah wahana pengalaman belajar yang memungkinkan murid belajar sesuai dengan minat dan kodratnya. Perlu kita pahami bahwa LMS ataupun LXP bukanlah sebuah perkakas. LMS dan LXP adalah sebuah strategi pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam aplikasi apapun termasuk Moodle atau Google Classroom. Nah, dengan demikian yang membedakan LMS dan LXP bukan aplikasi yang digunakan. Yetapi pada strategi pembelajaran yang direkayasa sedemikian rupa oleh guru sebagai fasilitator pembelajaran. Dengan kata lain, it’s not about the gun. But the men behind the gun.
By Rachmat Nurcahyadin, S.Pd.,Gr